Thursday, September 13, 2012

Saya Muslim


Perlu suatu objektivitas yang tinggi manakala kita mencoba bicara tentang paham atau aliran – aliran yang ada di Islam di Indonesia. Ya Kenapa di Indonesia ? karena konon katanya, di Arab Saudi atau di Timur Tengah nya sendiri tidak ada paham atau aliran ini. Disana  pada umumnya terbagi hanya menjadi 2 (dua) saja, yaitu aliran syiah dan sunni. 

Tapi di Indonesia sendiri, aliran-aliran itu terbagi menjadi 4 (empat) aliran mayoritas, Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Khusus yang ke empat ini, saya masih harus mendalaminya lebih jauh lagi. Tapi buat NU, Muhammadiyah dan Persis rasanya waktu masa-masa sekolah, begitu sering dibahas tentang perbedaan dan karakter ibadah seseorang yang meyakini salah satu dari 3 mahdzab tersebut. Kalau dilihat dari kacamata historis, perkembangan ketiga mahdzab ini tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Indonesia dalam melawan penjajah dahulu. Kecuali Persis, pendiri NU dan Muhammadiyah adalah para pahlawan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara langsung. 

Nahdatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, Muhammadiyah oleh KH. Achmad Dahlan dan Persis, tidak lah jelas didirikan oleh siapa, tapi Tokoh Pengembangan yang paling kuat adalah A. Hassan. Dalam basis pergerakannya di tanah air, ketiga aliran ini berkolaborasi dalam caranya masing – masing untuk membesarkan agama Islam di Indonesia. Bisa dilihat dalam jejak langkahnya selama ini. NU lebih focus kedalam jalur politik, Muhammadiyah kepada jalur pendidikan dan Persis kepada jalur tata cara ibadah. Sehingga jangan lah heran, kalau para tokoh NU adalah para tokoh politik di tanah air, dan hampir di setiap kota, terdapat sekolah dasar hingga universitas muhammadiyah. Dalam tata cara beribadah, akan tampak secara nyata perbedaan seseorang yang meyakini NU, Muhammadiyah dan Persis. Beberapa ciri menonjol yang ada dalam setiap aliran itu adalah “shalawatan” di NU, Hisab Wujudul hilal di Muhammadiyah dan Tatacara sholat seorang Persis. 

Shalawatan di NU menjadi suatu hal yang sangat wajib bagi para kaum nahdiyin, Shalawat dengan cara berteriak mengagungkan keesaan Allah Swt dan juga kebesaran Rasulullaah SAW. ‘Semakin keras anda berteriak, maka semakin itu bagus” begitu menurut salah nahdiyyin yang saya kenal baik. Biasanya dilaksanakan setiap selesai sholat. Jujur, saya sering mengikuti shalawatan yang seperti ini,  namun entah kenapa, hati ini kok tidak sreg ya. Saya lebih senang dengan cara berteriak dalam hati daripada berteriak lantang. 

Adapun Hisab Wujudul Hilal yang diyakini oleh Muhammadiyah, selalu menjadi penyebab terjadinya start yang berbeda dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 syawal di Indonesia sehingga 2 lebaran sering terjadi saat ini. Hal ini tidak menjadi masalah. Namun, hingga saat ini, saya lebih sering mengikuti instruksi pemerintah saja. Bukan karena saya seorang abdi negara, tapi  hati memang lebih sreg mengikuti apa yang ditetapkan oleh Pemerintah. 

Sementara, jika anda mendengar Iqomat dengan ucapan “Allahuakbar” hanya satu kali, kemudian langsung sholat tanpa baca niat (Usholli…..dst) dan menggerak-gerakan telunjuk saat itidal, maka dia pasti seorang Persis. Hati saya lebih sreg yang ini. Hanya saja, seorang Persisian seringkali terlalu yakin akan keyakinan, sehingga menganggap hal lain itu adalah sebuah bid’ah yang harus ditinggalkan. Padahal dalam da’wah, nampaknya perlu ada proses perubahan, dan biarkan proses itu terjadi secara alamiah. Dengan demikian, output dawah itu sendiri akan lebih mengakar dan menyebar di masyarakat muslim lainnya. 

Saya bukanlah NU, Muhammadiyah ataupun seorang Persis Saya hanyalah Muslim (04/09/2012)

No comments:

Post a Comment