Thursday, September 13, 2012

Belajar tanpa Guru dan Kurikulum !!


Masalah klasik dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia adalah permasalahan budaya. Maksudnya, karena demokrasi masih dianggap hal baru, komunitas baru, lingkungan baru dimana para politisi dan partai politiknya, masyarakat, dan regulasi-regulasi yang mengaturnya sebagai komponen dari demokrasi,  maka interaksi dari komponen tersebut nantinya akan menghasilkan satu budaya demokrasi yang baru pula. Budaya yang diharapkan muncul, tentunya budaya demokrasi yang baik, santun, dan budaya yang sifatnya people oriented, berorientasi kepada kesejahteraaan rakyat dan kemakmuran bangsa, bukan sebuah budaya yang sifatnya orientasi kepada kepentingan penguasa, partai politik dan kepentingan segelintir orang. 

Guna menghasilkan budaya yang baik, santun dan people oriented itu, tentunya akan terjadi apabila para politisi dan partai politik dapat mengenyampingkan kepentingan individu dan golongannya, masyarakat secara luas mendapatkan pendidikan dan sosialisasi tentang proses demokrasi yang baik dan benar, dan yang terakhir, tapi mungkin ini yang paling penting adalah adanya regulasi yang dapat mengatur semua proses demokrasi itu secara baik dan benar, mengakomodir semua kepentingan, dan lebih mengu tamakan kepada kedaulatan Negara sebagai Negara hukum  yang berdemokrasi.  Poin penting dari dukungan regulasi yang mumpuni adalah  harus adanya sifat Negarawan dari para ahli hukum tata Negara kita, misalnya Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Ryaas Rasyid dan para ahli lainnya. Mereka sesungguhnya yang bisa mengontrol proses perkembangan kehidupan demokrasi  di Indonesia agar tidak salah jalan, tidak kebablasan. Mereka seyogyanya tidak terjebak oleh politik praktis, sehingga pemikiran-pemikiran objektifnya dapat  lebih dioptimalkan demi kemajuan proses demokrasi di Negara kita. 

Lalu, budaya demokrasi seperti apa yang sekarang terjadi di masyarakat ? bagaimana budaya yang terbentuk diantara para calonlegislatif saat akan dilaksanakan Pemilu Legislatif ? Bagaimana budaya yang terjadi diantara para calon presiden saat akan dilaksanakan pemilu pilpres ? Bagaimana budaya yang muncul saat akan terjadi Pemilihan Kepala Daerah dimana para petahana (kepala dan wakil) kembali mencalonkan dengan pasangan masing – masing ? Bagaimana budaya politik saat akan terjadi pemilihan kepala desa dimana mayoritas penduduk desa belum mengenyam pendidikan politik yang memadai ? 

Khusus untuk budaya saat akan Pemilihan Kepala Daerah dimana para petahana kembali mencalonkan. Hal ini yang paling rawan konflik dibandingkan dengan proses demokrasi yang lainnya. Kenapa begitu ? karena para petahana itu cenderung menggunakan berbagai infrastruktur dan suprastruktur pemerintahan yang ada dengan agar dapat terpilih menjadi kepala daerah. Dan itu lazim terjadi. 1 sampai dengan 2 tahun terakhir kepemimpinannya, maka dipastikan mereka umumnya tidak focus kepada pemerintahannya, tidak khawatir jikalau pencapaian visi-misi pembangunan daerahnya tidak sesuai dengan target yang ditetapkan, tapi lebih khawatir dengan jabatannya yang akan segera berakhir, lebih khawatir jika tidak terpilih kembali. Agaknya mereka-mereka itu sangat percaya dengan pameo yang menyebutkan bahwa “berhasil atau tidaknya seorang kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya selama 5 tahun itu, ditentukan pada masa pilkada setelahnya, jika terpilih kembali maka kepala daerah itu berhasil melaksanakan tugasnya, namun jika kalah, maka kepala daerah itu gagal dalam melaksanakan tugas”.  

Indonesia memang sedang belajar berdemokrasi, namun belajar mandiri tanpa guru yang pasti dan kurikulum yang memadai (7/09/2012)

No comments:

Post a Comment