Saturday, December 1, 2012

Semangat Terbarukan

Asupan energi hari ini berawal dari satu buah alpukat (bukan jenis mentega) ditambah irisan gula merah, sebagai pengganti rasa tawar dengan rasa manis yang secukupnya. Entah kenapa, semalem waktu mencari oleh - oleh buat Tabee disalah satu swalayan depan kantor, hati tergerak membeli alpukat dan ternyata memang bener, alpukatnya bagus, harganya kalo tidak salah 19.800 per kg. Saya ambil 5 buah, dan ditimbang dengan berat 1,6 kg, jadilah harganya 28 ribuan. 
Mungkin, alpukat ini adalah alpukat pertama yang saya makan dalam 2 bulan terakhir ini, kenapa ? ya karena takut gendut heuheu. Alhamdulillah, berat badan ini sudah turun hampir 8 kg dalam 2 bulan terakhir. Berat badan saat ini sudah 71 kg. Dengan tinggi yang umumnya orangnya Indonesia tinggi 165 cm, dengan berat seperti itu, kayanya masih tetep dibilang gendut atau over weight :). Semangatnya satu, hanya ingin badan terasa lebih sehat. Bukan kenapa-kenapa, banyak orang bilang, kalau makanan itu adalah sumber penyakit. Semakin beragam makanan yang kita makan, maka semakin rentanlah badan kita terhadap penyakit. Jadi dengan mengatur asupan makanan, maka badan kita diyakini akan lebih sehat (mungkin gitu kayanya). Setelah berat badan nyampe 70 kg, target saya hanya akan mencoba menjaga stabilitas badan aja. Tidak berniat untuk lebih turun dari itu, bukan kenapa kenapa, celana dan baju sudah terasa longgar, kalau berat badan tambah turun, dipastikan pengeluaran akan lebih bertambah karena harus beli baju dan celana baru, serta menjahit baju seragam kantor yang baru juga. SEMANGAT SEHAT !

Berinteraksi dengan para pelaksana pembangunan di republik ini ternyata merupakan suatu anugerah tersendiri. Mereka itu adalah para Kepala Desa atau juga sering disebut Pa Lurah atau juga Pa Kuwu. Cara berpikir yang sangat membumi tampak dominan dalam pola pikir dan tindak mereka. Kalau dalam salah tweet nya @pidibaiq  yang tiap pagi Beliau share itu, adalah rasa syukur terhadap-Nya yang telah membuat kita dapat selalu "Tetapkan pikiran kami selalu melangit dan dengan hati yang terus membumi", suatu pernyataan yang belum dapat saya pahami dengan baik. Namun secara sekilas, sepertinya, kata-kata "pikiran kami selalu melangit" nya itu tidak tampak dalam pola pikir para Kepala Desa ini. Manakala saya sempatkan untuk berdiskusi tentang suatu kasus, pikiran mereka tidak melangit, sangat membumi. Berdiskusi dengan banyak kepala desa, adalah suatu kesempatan langka yang dapat saya lakukan. Berdiskusi dengan orang-orang yang berpikir sangat realistis itulah yang (sepertinya) harus lebih sering dilakukan oleh para perencana pembangunan dimanapun berada, sehingga para perencana (seharusnya) tidak terjebak dalam suatu lingkaran pemikiran yang sempit, terdesak oleh kerangka teori dan regulasi yang terlalu mengikat. Karena jika sudah terjebak, maka buah pikir yang dihasilkan hanyalah suatu perencanaan yang "ngawang-ngawang", melangit tidak, membumi pun tidak. SEMANGAT MEMBUMI !

Selalu terngiang - ngiang apa yang pernah dikatakan oleh seorang Negarawan, Gus Dur, "Gitu aja kok repot" atau kalau saya "translate" dalam bahasa ibu, kurang lebih seperti ini "asa teu kudu riweuh". Buat beliau yang pernah menjabat sebagai orang No 1 di negara kita ini, pernyataan seperti itu sepertinya harus bisa diterapkan, dipahami oleh semua orang abdi negara yang ada di republik ini. Kenapa ? karena dengan berprinsip seperti itu, saya yakin, permasalahan yang sesulit apapun, akan terasa lebih mudah dalam memecahkannya. Bukan tanpa sebab, saya melihat ada suatu "keyakinan" diri, ada suatu "kepercayaan diri" dari orang-orang yang bisa berkata seperti itu, bahwa sesulit dan serumit apapun suatu masalah, pasti akan ada solusi atau jalan keluarnya. Jujur, sampai saat ini, saya masih harus belajar untuk bisa berpikir seperti itu. Ketika ada suatu masalah, yang masih sering muncul adalah rasa panik yang justru tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menambah masalah baru. Seperti saat sekarang ini, yang ada hanyalah rasa takut manakala di hari libur terdengar nada dering telp dari 2 orang atasan yang pastinya akan ada suatu tugas lain yang harus dijalankan. Kemudian datanglah sebuah sms, yang meminta untuk turut serta melaksakan tugas mulia. Subhanallah.....saya sangat perlu SEMANGAT TERBARUKAN !!

Friday, November 16, 2012

Resi Bisma

Disaat merasa ajalnya sudah dekat, Resi Bisma meminta salah seorang pengawalnya untuk menyampaikan pesan kepada para Pandawa agar datang ke Kurusetra. Saat itu, kondisi Resi Bisma sudah sangat melemah, setelah puluhan anak panah Srikandi menancap di tubuhnya. Perang Bratayudha baru saja usai. Resi Bisma merupakan leluhur Pandawa dan Kurawa yang menjadi salah satu korban dari perang hebat yang berlangsung selama 20 hari itu. Resi Bisma sangat dihormati oleh Pandawa dan Kurawa, karena sejatinya Resi Bisma adalah Raja Hastinapura yang sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sakti, namun bijaksana. Dia sangat tahu bagaimana Kurawa mendazalimi Pandawa, sangat tahu siapa yang paling benar antara Pandawa ataupun Kurawa, namun ketika Bratayudha terjadi, Resi Bisma bisa memisahkan antara logika berpikir dan rasa tunduk kepada takdir yang telah ditetapkan. Resi Bisma tetap berperang melawan Indrapasta, tapi berperang untuk Hastinapura tapi bukan untuk Kurawa, dan para Pandawa sangat tahu akan hal itu, sehingga Pandawa masih sangat menghormati Resi Bisma. 
Bratayudha bagaikan kumpulan jutaan takdir para pengikut Pandawa dan Kurawa. Takdir bagi seorang Gatotkaca yang sangat tahu bahwa dia akan mati dalam peperangan ini karena harus menjadi perisai bagi pamannya Arjuna dalam menghadapi kesaktian Adipati Karna yang juga gugur, takdir buat seorang Arjuna yang harus kehilangan anaknya, Abimanyu, takdir buat seorang Resi Dorna  yang harus menjalani hukuman setimpal karena kelicikan akal bulusnya, takdir kematian buat Duryudana dan Dursasana serta seluruh kurawa lainnya yang telah berbuat licik kepada Pandawa selama hidupnya, serta juga merupakan takdir buat seorang Resi Bisma, sebagai seorang satria yang harus mati dalam peperangan. 
Tapi di balik perang Bratayudha tersebut, sesungguhnya yang paling diuji dalam kesabaran, adalah Ibunda dari Pandawa, Dewi Kunti, dan Ibunda dari Kurawa, Dewi Ghandara. Bagaimana tidak, seorang Dewi Kunti dan Dewi Ghandari, melihat seluruh anaknya, cucunya dan seluruh keturunannya saling berperang, sedangkan Dewi Kunti dan Dewi Ghandari berada dalam satu Istana yang sama, duduk berdampingan, bersikap saling menghormati, saling menghargai. Ketika Bratayudha selesai, Dewi Kunti kemudian meminta maaf kepada Dewi Ghandari karena Kurawa, anak Dewi Ghandari, yang berjumlah 99 orang, semuanya tewas terbunuh dalam peperangan. "Itu mungkin sudah takdir dari dewata" ujar Dewi Kunti kepada Dewi Ghandari. Tak lama setelah Bratayudha, Dewi Kunti dan Dewi Ghandari beserta Prabu Destarata kemudian mengasingkan diri bersama, bersemedi, hingga mereka kemudian meninggal bersama.
Setengah berlari, pengawal Resi Bisma menuju ke Indrapasta, kemudian menyampaikan amanat Resi Bisma kepada Yudistira. Tanpa berpikir panjang, seluruh Pandawa ditemani oleh Sri Kresna, menuju ke Kurusetra. 
Sesampainya disana, mereka melihat Resi Bisma masih dalam kondisi tergeletak di tanah, dengan tubuh dipenuhi anak panah Srikandi, Kemudian mereka memberi hormat dan duduk disebelah Resi Bisma. Setelah itu, Resi Bisma menyampaikan kepada Pandawa bahwa ajalnya akan segera tiba, dan ingin memberikan 2 buah nasihat, khususnya kepada Yudistira, yang akan menjadi Raja, pemimpin Hastinapura. Nasihat Resi Bisma itu dikiaskan dalam 2 buah cerita yang intinya agar Yudistira dapat menyayangi rakyat kecil dan harus bijaksana sebagai pemimpin dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan seluruh kebutuhan rakyatnya. 

Melihat semuanya sudah tertidur lelap, Udin kemudian menutup pintu kamar anak-anaknya itu. Udin selalu bersemangat bercerita tentang dunia perwayangan kepada anak-anaknya, hal ini bukan tanpa sebab, Udin pada saat masih kecil, begitu terpukau dengan cerita dunia pewayangan, sebuah dunia yang begitu tampak nyata karena dapat melukiskan tata nilai perilaku manusia dalam bernegara, dalam bermasyarakat, dan dalam menyikapi berbagai persoalan hidup di dunia, sehingga nilai-nilai kebaikan dalam dunia pewayangan itu yang Udin coba ceritakan kepada anak-anaknya sebagai dongeng sebelum tidur.

Malam itu, Udin sangat lelah, pekerjaan yang begitu banyak, seakan menguras tenaga dan pikirannya. Namun, hari itu, tidak mungkin dapat Udin dapat lupakan, karena Udin sudah mendapatkan porsi keberangkatan haji ke tanah suci, Alhamdulillaah. Walau harus menunggu selama 7 tahun, mungkin itu adalah waktu yang telah Allah berikan agar Udin dapat lebih meningkatkan ketakwaannya, sehingga dapat "lulus" menghadapi segala cobaan dan menjadi haji yang mabrur. 
Jam di kamarnya sudah menunjukan pukul 22.30, Udin segera memasang alarm pada pukul 03.15 dan Udin pun tertidur.

16 November 2012

Wednesday, November 7, 2012

Undangan

Udin sedang menunggu nomor antriannya dipanggil. Siang ini, Udin akan ngebuka rekening di salah satu bank syariah yang membuka cabang di kota tercintanya. Wajah Udin nampak berseri-seri, gurat kebahagiaan tidakdapat disembunyikan dari wajahnya. Ya, hari ini, Udin akan membuka rekening di Bank, tapi bukan rekening biasa, tapi rekening tabungan buat Udin naik haji, menjalankan rukun Islam ke lima ke Baitullah, Mekkah al mukarommah, memenuhi undangan dari-Nya. Buat Udin, bisa pergi ke tanah suci itu merupakan salah satu cita-cita hidup yang sudah dinanti-nanti dari sejak dahulu.
Jadi, saat semalam istrinya berkata, "Abi, sepertinya tabungan kita sudah mencukupi buat menjadi dana awal membuka rekening haji, jadi kapan Abi mau daftar hajinya ?" mendengar pertanyaan istrinya itu, Udin terdiam sesaat, berusaha untuk mengatur kesadaran diri, menahan luapan rasa di dada yang justru membuat dada terasa sesak. "Alhamdulillaah, saat - saat seperti ini datang juga" gumam Udin dalam hati. Lalu setelah Udin merasa tenang, lalu dia menjawab pertanyaan istrinya tadi, " Insya Allah secepatnya Nda, mudah-mudahan minggu ini bisa langsung daftar ke kantor Departemen Agama". 
Selesai menjawab pertanyaan istrinya itu, tidak lantas Udin menjadi tenang, tapi justru Udin masih merasa tidak percaya, kalau kesempatan buat naik haji itu akhirnya datang juga. Meski untuk di kota tempat tinggal Udin, antrian kuota naik haji saat sudah menginjak tahun ke 7, maksudnya jika Udin daftar haji tahun ini, mungkin baru bisa berangkat pada tahun 2019 nanti. 
Menurut salah satu referensi, meningkatnya antrian kuota haji ini, dimulai saat adanya skema kredit dari     bank - bank syariah dengan sebutan "dana talangan haji", sehingga seseorang yang sudah mempunyai dana awal yang cukup (biasanya 20% dari ongkos naik haji), sudah dapat membuka rekening haji. Kemudian, Bank akan menutupi terlebih dahulu sisa ONH nya, agar nasabahnya sudah bisa mendapatkan jatah kuota naik hajinya. Kalau sebelumnya, biasanya tidak terjadi antrian kuota haji ini, jadi saat kita daftar ke DEPAG, biasanya pada tahun yang bersangkutan juga sudah bisa naik haji. Pengajuan persyaratan dana talangan haji ke bank itu sangat mudah, hanya tinggal membawa fotocopy KTP, kartu keluarga dan kartu menikah (buat yang sudah menikah). Udin pun memanfaatkan fasilitas dana talangan haji tersebut. Untuk bank yang Udin pilih, Bank Syariah Mandiri, minimal setor uang pertama ke bank tersebut adalah Rp.5.850.000,- selanjutnya, BSM akan menutupi sisa ONH nya, dan dapat dicicil sampai dengan 3 tahun.  
Uang 6 juta sudah ada di tangan Udin. Buatnya, uang sebesar itu adalah uang yang sangat besar, dengan penghasilannya yang pas-pasan dengan segala kebutuhan hidupnya, maka bisa menabung dari sedikit penghasilannya adalah hal yang luar biasa. Sudah seharusnya, Udin sangat bersyukur karena istrinya dapat mengelola keuangan rumah tangganya dengan sangat baik. 
"Nomor antrian B 080, silakan menuju counter 2" terdengar suara dari mesin antrian yang langsung membuyarkan lamunan Udin. Mendengar nomor antriannya dipanggil, Udin segera bangkit dari tempat duduknya, trus berjalan menuju meja customer service. Ruangan di bank yang begitu hening bagi orang-orang disana, terdengar sangat berbeda bagi Udin. karena sesaat Udin berdiri dan kemudian berjalan, entah kenapa, suasana seketika berubah, telinganya langsung mendengar ratusan bahkan ribuan orang melantunkan talbiyah dengan bersuara kencang tapi tidak berteriak, berirama dengan suara penuh makna yang sangat dalam.
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, nikmat dan segenap kekuasaan milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”

7 November 2012

Monday, October 29, 2012

Bela dan Bella !

Jangan pernah menyalahkan kata dari yang mulut anda keluarkan dan bahasa dari yang lidah anda suarakan. Karena pada dasarnya bahasa yang kita gunakan adalah suatu konfigurasi antara lidah dan mulut. Entah apa yang salah, kenapa orang Sunda begitu susah menyebut huruf 'F" dan "V" dengan baik dalam percakapan, dan juga orang suku batak hanya bisa berucap huruf "e" seperti e dengan accent taigu dalam bahasanya Zinedine Zidane.
Satu hal yang selalu saya ceritakan ke setiap orang adalah pengalaman berada dalam 2 organisasi yang hanya berbeda huruf awal, tapi dengan objek yang sama, lalu kedua organisasi itu dapat berjalan beriringan tanpa memperdulikan perbedaan. Objek organisasi itu adalah antara kata Perancis dan Prancis. Tahun 1999,  ketika pertama kali menginjakan kaki di Fakultas Sastra, hati langsung tergelak, menahan senyum terkulum manakala melihat di salah satu ruangan  himpunan mahasiswa, disana tertulis : HIMAPRA, Himpunan Mahasiswa (Bahasa) Prancis dan HIMAPER,  Himpunan Mahasiswa (Sastra) Perancis wkwkwkwk, sangat kreatif. Lalu kemudian, karena saya masuk di sastra Perancis, maka saya masuk menjadi anggota HIMAPER, bukan HIMAPRA. Tapi selama beraktivitas di situ, belum pernah ada sekalipun orang - orang mempermasalahkan hal ini, bahkan mahasiswa sastra Indonesia sekalipun, tidak pernah saya dengar membahas perbedaan Perancis dan Prancis, apa mungkin memang tidak peduli atau memang kata Perancis dan Prancis, dapat digunakan dua-duanya. Moga dugaan saya yang terakhir yang benar.
Coba juga perhatikan tajwidz yang dulu kita pernah pelajari saat masih kecil, saat memulai belajar mengaji. Guru mengaji mengajarkan satu rumus, yaitu iqlab, dimana apabila ada huruf nun mati bertemu dengan huruf "ba", maka nun tersebut berubah menjadi huruf "m", misalnya "min ba'di, maka dibacanya adalah "mim ba'di". Namun ternyata, kalau kita perhatikan dalam bahasa percakapan sehari-hari, khususnya dalam bahasa sunda, terdapat suatu kebiasaan dimana sebuah suku kata yang dimulai m, biasanya jadi diikuti oleh huruf "B". Saya ambil contoh, "samoja" menjadi "samboja"; "selimut" menjadi "selimbut", ada juga contoh2 kata-kata lain, coba anda cari sendiri hihihi.......... Sedangkan buat para ustad, coba anda perhatikan, jika mereka mengucapkan kata yang ada huruf P, pasti akan terdengar seakan-akan mereka berkata dengan huruf "F", hal ini (mungkin) karena dalam bahasa arab tidak ada kata dengan huruf "P", tapi yang ada adalah dengan "f". Hal ini yang saya sering dengar saat Pa Nana, guru ngaji saya, menasihati agar "tidak lufa sholat lima waktu" (menggunakan huruf "f" pada kata "lupa") hihihi. 
Lalu, coba anda suatu waktu datang mengunjungi salah satu sekolah dasar di kota-kota di Jawa Barat pada hari Senin Pagi, disaat mereka sedang melaksanakan upacara bendera. Jangan anda terheran-heran, jika anda tidak mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan pada saat pengibaran bendera. Tapi yang akan anda dengar adalah lagu "Endonesia Raya" dengan huruf 'E".
Gak adil lah bagi kita untuk mempermasalahkan kebiasaan berbahasa dengan bagaimana seharusnya kita berbahasa. Tapi satu hal yang harus dipahami, satu huruf yang berbeda, dapat memberi arti yang berbeda. Wajarlah jika "Aqua" protes terhadap produsen air mineral yang ber merk "Agua", dan produsen celana jeans "Levi's Strauss" berang menemukan sebuah celana jeans dengan brand "Lepis" hihihi. 
Jadi wajarlah jika seorang Bela kemudian sering protes jika ada seorang kawan menulis namanya dengan huruf double L, menjadi "Bella", bukan gimana gimana, tapi rasanya tidak pantas, jika seorang manusia bernama "Bella" tapi ternyata brewokan dan berjanggut. 

29 Oktober 2012




Thursday, October 25, 2012

Ikhlas Ikhlas Ikhlas

Namaku, Belang, awalnya entah kenapa orang tua saya memberi nama yang begitu simpel dan mudah diingat. Namun seiring usia bertambah, saya baru mengerti kenapa saya diberi nama seperti itu, ya karena Beliau menganugerahi saya kulit yang memang belang, ada warna putih, hitam dan coklat di beberapa bagian. Saya mempunyai seorang ibu yang sangat baik hati dan penyayang. Begitu banyak pengorbanan yang dia telah lakukan demi saya, anaknya. Yang saya ingat, pernah suatu hari, saat saya sedang sakit dan makanan yang tersedia sangat sedikit, ibu tidak makan seharian, membiarkan saya makan dengan banyak dan lahap. "Biar kamu cepat sembuh nak, bisa lari-lari lagi di lapangan, bisa main petak umpet dengan temen-temen kamu. Ibu tau, kamu sangat senang maen dan Ibu ingin membuat kamu selalu bahagia. Karena kamu harus tau nak, kebahagian kamu adalah kebahagiaan ibu, senyum kamu adalah senyum ibu, dan kesedihan kamu adalah kesedihan ibu. Ketika kamu jatuh sakit, jujur nak, mungkin ibu mu ini yang terjatuh lebih sakit" ucap Ibu saat itu. 

Saya merasa bersyukur, mempunyai seorang ibu yang begitu sayang kepada anaknya. Meski sudah tidak mempunyai ayah lagi sejak 2 tahun yang lalu, saya pikir, sudah cukup dengan mempunyai seorang ibu, karena saya tidak merasa kekurangan kasih sayang sedikitpun. Pernah saya menanyakan kepada Ibu tentang ayah saya, siapa namanya, bagaimana dia meninggal. Ibu hanya bilang kalau ayah pergi saat saya sedang dalam kandungan ibu. "Namun bagi ibu, ayahmu itu adalah seorang pahlawan, dia seorang suami yang sangat patuh terhadap Tuhannya dan sangat mencintai istrinya, ibumu. Jadi jangan pernah membenci ayahmu, karena Ibu tau, dia akan sangat menyayangi mu jika dia masih ada saat ini".  Itu jawaban dari Ibu yang selalu diingat jika saya  menanyakan tentang kabar ayah. Maka cukuplah dengan cerita itu, saya berbangga dengan ayah saya. Karena ayah seorang pahlawan, setidaknya seorang pahlawan buat ibuku, orang yang sangat mencintai saya.

Ada satu fenomena yang menarik, di daerah perumahan saya, setahun sekali semua lelaki diminta berkumpul di tanah lapang. Buat yang sudah dewasa, diminta berbaris dengan rapih, sedangkan buat saya yang masih kecil saat itu, malah disuruh bermain dengan temen-temen yang sebaya. Senangnya bukan main. Walaupun demikian, ada juga rasa ingin tahu di hati, kenapa orang dewasa diminta berbaris, emang mereka mau ngapain ? mau kemana ? apakah mereka akan pergi berperang ? ataukah mereka dikumpulkan hanya untuk di catat nomor identitas saja ? berbagai pertanyaan bermunculan saat itu. Namun, pertanyaan itu hilang dengan sendirinya, terhapus oleh rasa senang bermain dan bercanda dengan temen-temen yang lain. Ketika tiba di rumah, saya bilang ke ibu kalau saya sangat senang hari ini karena bisa bermain seharian, tapi tetep juga menanyakan berbagai pertanyaan yang tadi sempet muncul dipikiran. Ibu hanya tersenyum mendengar banyak pertanyaan dari saya, dan kemudian Ibu hanya menjawab, " itu adalah proses seleksi untuk menjadi seorang pahlawan nak. Setiap ibu sangat bangga jika anaknya nanti menjadi seorang pahlawan. Karenanya, Ibu ingin kamu juga menjadi seorang pahlawan buat ibu, kamu mau kan nak ?" Mendengar pertanyaan ibu itu, saya langsung menjawab, " tentu bu, saya ingin cepat besar, saya ingin ikut seleksi, dan ingin  menjadi seorang pahlawan". Ibu hanya tersenyum dengan tatapan mata yang sangat dalam dan penuh dengan perasaan sayang, dipeluknya saya dengan erat, sambil berkata dengan lembut, "ibu tau nak dan ibu yakin, tahun depan kamu bisa lulus seleksi dan bisa menjadi pahlawan buat ibu". Mendengar ucapan nya, hati saya berdegup kencang, bertekad untuk segera mewujudkan harapannya di tahun depan. 

Saya tinggal di kaki bukit "Munjul", salah satu daerah di Bandung Selatan. Disini, jika kita melihat ke utara akan tampak keindahan Gunung Tangkuban Parahu, sedangkan jika menengok ke arah selatan, akan nampak kemegahan Gunung Malabar. Kurang lebih 300 meter dari bukit ini, melintas aliran Sungai Citarum yang menjadi sumber irigasi bagi sawah-sawah dan kebun-kebun di sekitarnya, dan pagi ini, di kaki bukit, langit begitu cerah, lebih terang dari biasanya, namun udaranya masih sangat sejuk, rumput-rumput masih basah sisa embun semalam, ayam sudah berkeliaran di halaman mencari makanan, burung pipit sedang berterbangan meninggalkan sarangnya. Pagi ini adalah pagi yang sudah saya nantikan itu sejak lama. 2 hari yang lalu,  ibu berkata kalau saya harus bersiap mengikuti proses seleksi menjadi pahlawan pada hari ini. Saya sangat senang sekali. Setelah bangun, saya melihat ibu sudah menyiapkan makanan buat sarapan. Saya kemudian diminta ibu untuk menghabiskan semua makanan itu. Melihat saya makan begitu bersemangat, ibu hanya tersenyum bijak. Dengan tatapan mata yang sejuk dan penuh rasa sayang, Ibu terus memperhatikan saya makan hingga selesai. Saya makan sangat banyak pagi itu. Kemudian ibu meminta saya duduk karena ibu akan menyampaikan sesuatu. Dengan suara yang lemah lembut, ibu berkata, "duhai anakku, kamu percaya kalau Tuhan itu ada ?" Saya menjawab " Percaya bu". "lalu, kamu tau untuk apa kita semua diciptakan di muka bumi ini ? sesungguhnya, kita dilahirkan tak lain adalah untuk beribadah nak, untuk mensyukuri semua nikmat-Nya, untuk memuji semua kebesaran-Nya dan untuk diuji dengan berbagai cobaan dan tantangan. Satu kata kunci jika kita ingin lulus dari semua cobaan dan tantangan-Nya nak, yaitu ikhlas. Niatkan semua yang kita lakukan adalah untuk Tuhan-mu, maka hati ini akan seketika menjadi ikhlas. Anakku, hari ini kamu akan mengejar cita-citamu menjadi pahlawan. Luruskan niatmu nak, ibu ikhlas melepas kepergian mu, ibu ikhlas melepas kepergianmu". Ada nada suara ibu yang berbeda dari biasanya. Terasa begitu berat dan agak terbata-bata. Mata ibu berkaca-kaca, menahan air mata yang muncul dengan tiba-tiba. Belum pernah saya melihat mata ibu seperti itu, selama ini matanya tampak begitu jernih, penuh dengan tatapan rasa sayang. Entah kenapa, dada ini langsung terasa begitu sesak, air mata menyeruak ikut muncul di kantung mata saya. Lalu, "sini nak, salim ke ibu" ujar ibu. Saya mendekat ke ibu, mencium tangannya yang begitu halus, dan kemudian ubun-ubun kepala saya tertunduk di mulut ibu, dengan hati yang tak menentu, dan saya mendengar ibu berdoa, "Ya Rabb, hari ini saya ikhlaskan, anak hamba untuk pergi memenuhi kewajibannya, memenuhi sunnah dari Rasul kesayangan-Mu, Ibrahim dan Muhammad. Ya Rabb, karuniakan kepada anak hamba, hati yang tulus dan patuh kepada semua titah-Mu, seperti hatinya seorang Ismail bin Ibrahim, yang dengan ikhlas menjalankan semua perintah-Mu. Mudahkan anak saya untuk kembali kepada-Mu dengan syahid, dan kumpulkan segera kami di surga-Mu dengan penuh kebahagiaan. Ya Rabb, perkenankan permohonan hambu-Mu ini". Selama ibu berdoa, saya hanya mengucapkan kata "amiin" berulang ulang sambil air mata tak tertahankan bercucuran, ini pertama kali saya mengucurkan air mata, menangis, selama hidup saya.
                                                                                  ****
Sholat idul adha baru saja selesai, Udin beserta istrinya, dan ketiga anaknya berjalan terburu-buru kembali ke rumahnya. Bukan karena lapar, karena belum sarapan, tapi karena Idul Adha kali ini jatuh pada hari Jum'at. Jadi waktu untuk menyembelih hewan qurbannya harus lebih cepat, agar daging hewan qurban dapat tetap terbagikan sebelum sore hari tiba. Sesampainya di rumah, Udin kemudian menyantap sepotong ketupat dengan opor ayam kampung buatan istrinya, lalu kemudian pergi ke halaman rumahnya. Dipojok halaman, ada seekor domba jantan berbulu belang tiga warna, ada putih, hitam dan coklat. Dengan usia domba yang masih muda, domba itu terlihat sangat gagah dan lebih besar untuk domba seusianya dan si domba itu sangat jinak. Tidak gampang mencari domba seperti itu, Udin telah berkeliling ke seluruh pelosok di kota Bandung, mencari domba-domba yang bagus untuk dia jadikan qurban, akhirnya Udin menemukan domba ini di 15 km arah selatan kota Bandung, di perbatasan daerah Bale Endah dan Cangkring. Senangnya tidak terkira, karena uang hasil Udin menabung di celengan kambing nya itu, mencukupi buat beli domba sebagus ini. Si Domba ini kemudian Udin lepas tali pengikatnya, dan dituntun menuju mesjid di dekat rumahnya. 
Hari ini,  10 Dzulhijah, Udin berqurban kembali di rumahnya. 
Hari ini, 10 Dzulhijah, doa ibu Si Belang terwujud, anaknya mati syahid. 

25 Oktober 2012

Saturday, October 20, 2012

Idul Qurban buat Udin !

Salah satu ujian loyalitas bagi seorang bawahan manakala diminta melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan norma, bertentangan dengan akal sehatnya dan bertentangan dengan keyakinannya ! 

Bagi Udin, seorang pekerja dengan penghasilan yang pas-pasan, segala yang berkaitan dengan pengeluaran keuangan harus di kelola dan direncanakan dengan baik. Betapa tidak, 2 orang anaknya saat ini, sedang bersiap menempuh ujian akhir di sekolah, Asep, si sulung, sudah duduk di kelas 9, bersiap masuk ke sma sedangkan Emma, anaknya yang nomor 2, juga sedang bersiap ujian masuk ke smp. Sedangkan Atep, si bungsu, sekarang baru sekolah di kelas 4 sekolah dasar. Adapun istri Udin, tidak bekerja secara tetap, dia hanya menerima jasa cuci dan setrika pakaian di sekitaran rumahnya. 
Satu hal yang menjadi pemikiran Udin saat ini adalah dirinya harus bersiap menyisihkan uang dari pendapatannya itu untuk biaya sekolah anaknya tahun depan, karena menurut seorang tetangga sebelah rumahnya, biaya masuk ke smp dan sma saat ini sudah sangat mahal, butuh uang berjuta-juta untuk bisa masuk ke sekolah yang bagus. Bukan gimana-gimana, sudah tertanam dari awal saat anak pertama nya, Asep dilahirkan, ada satu tekad yang Udin bisikan kepada anaknya, "Bapak ga bisa menjanjikan kehidupan dan kekayaan yang berlimpah buat mu Nak, tapi hanya satu hal yang Bapak berani berjanji, Kamu tidak akan putus sekolah, Bapak akan berusaha mencari uang agar kamu bisa sekolah setinggi tingginya",  hanya itu janjinya. Janji menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya !!
Sebagai bukti dari janjinya itu, lebih dari 30% dari uang gajinya, Udin langsung menyisihkan buat biaya sekolah anak-anaknya. "Biarlah saya hidup berkekurangan saat ini, asalkan anak bisa tetap sekolah sampai sarjana" demikian yang ada dalam benak Udin. 
Selain buat biaya sekolah, sesungguhnya Udin juga menyisihkan uang setiap bulannya sekitar 150 ribu, yang dia masukan kedalam sebuah celengan berbentuk kambing yang dia beli di Kebun Binatang. Kenapa celengan kambing yang Udin pilih ? karena memang uang yang dia masukan ke celengan itu adalah uang tabungan Qurbannya. Sejak bujangan, kebiasaan membeli celengan kambing ini sudah  Udin lakukan, hanya bedanya dengan sekarang, kalau dulu isinya kebanyakan uang recehan logam, kalau sekarang kebanyakan uang kertas. Selembar uang seratus ribu, dia masukan pada setiap tanggal 1 selesai dia mendapatkan gaji bulanannya, sedangkan sisanya adalah uang - uang kertas seribu atau dua ribu an yang dia masukan setiap hari. 
Tentang Qurban ini, Udin sangat paham kalau sifatnya itu "Sunat Muakaddah", ibadah sunat yang sangat diharuskan. Dalam salah satu keterangan yang Udin dengar saat solat jum'at, Khotib saat itu menyatakan bahwa ada satu hadist atau ayat Qur'an yang menyatakan seperti ini : "janganlah kalian memasuki tempat solat jika kamu termasuk orang yang mampu tapi tidak melaksanakan ibadah Qurban". Bergetar hati Udin saat itu, seraya bingung dengan definisi "orang yang mampu". lalu muncul banyak pertanyaan dalam dirinya, "apa definisi orang yang mampu itu ya ?" "apa indikator nya ?" apakah sebuah keluarga yang mempunyai tv di rumahnya, walaupun dia punya banyak hutang, termasuk kategori wajib Qurban ?" "apakah saya termasuk orang yang mampu ?"  pertanyaan - pertanyaan lain terus bermunculan. Hal positif yang kemudian sikapi adalah dengan harga kambing yang cukup mahal buat Udin, maka dia harus mempunyai celengan khusus buat Qurban. Dan sejak saat itu, 15 tahun yang lalu, dia selalu membeli celengan berbentuk kambing di deket Kebun Binatang pada minggu pertama setelah Idul Adha. Ada suatu kepuasan tersendiri bagi Udin kalau bisa berqurban setiap tahun. Udin selalu membeli kambing/domba  yang bagus untuk berqurban, dan dititipkan di masjid yang dekat dengan tempat tinggalnya, yang selalu menjadi tempat sholat Udin dikala adzan subuh memanggilnya. adapun dhuhur, ashar, maghrib dan isya, biasanya Udin sholat di mushola tempat dia bekerja.  Walau kemudian hewan qurbannya itu dititipkan di DKM, Udin selalu menyembelih hewan qurbannya dengan tangannya sendiri, karena memang lebih utama demikian, lalu dengan rekan-rekan di DKM yang lain, bersama-sama untuk menguliti, membersihkan dan membagikan daging hewan qurban itu ke yang berhak menerimanya. Berqurban menjadi sebuah ritual tahunan yang penuh makna buat Udin, makna pengorbanan seorang hamba kepada Tuhannya.
Namun, pada Idul Qurban tahun ini, ada satu yang mengganjal pikirannya, yaitu saat pimpinan baru di kantornya, yang memang seorang ustadz, mengeluarkan kebijakan bahwa setiap karyawan harus berqurban di kantor untuk kemudian disalurkan ke lembaga/yayasan yang telah ditentukan oleh kantornya. Mendengar kebijakan pimpinan kantornya itu, Udin langsung gelisah, masih belum mengerti, kenapa seorang pimpinan kantor mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang "ibadah" seseorang. Padahal menurut pemikiran sederhana Udin, berqurban itu merupakan suatu kewajiban yang melekat bagi seorang hamba-Nya bukan bagi seorang karyawan kantor, jadi kenapa kantor harus turut campur mengatur tentang hal ini ? 
Satu hal yang Udin yakini, bahwa jika Udin mematuhi kebijakan pimpinannya itu, maka Udin akan kehilangan makna Idul Qurban yang telah dia nikmati dan rasakan  hampir 15 tahun belakangan ini. Entah kenapa, Udin masih belum rela untuk memecahkan celengan berbentuk kambing nya itu jika harus berqurban di kantornya. 
Lalu kemudian Udin mencoba ber andai - andai, apa yang terjadi jika Udin tidak berqurban di kantor nya ? apa dia akan dipecat ? apa dia akan diberi Surat Peringatan oleh HRD kantor nya ? ataukah Pimpinan kantornya nya itu akan menyalahkan secara individu dan membencinya karena dianggap tidak loyal ke atasan ? atau kah seperti apa ? Jika dia dipecat kerja, lalu bagaimana dengan biaya sekolah anak-anaknya ? karena pada jaman sekarang, bukan hal gampang mencari kerja buat seorang yang telah berumur seperti Udin.

Idul Qurban tinggal 6 hari lagi, Udin masih bingung dengan tindakan yang akan dia lakukan......masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Udin hanya bisa kemudian pasrah, menyerahkan semuanya kepada Allah, "saya akan solat istikharah malam ini,  semoga Allah memberi keyakinan kepada hati ini, bagaimana saya harus bersikap" gumam Udin sambil mengayuh sepeda lipat hitam menuju tempat kerjanya. 

20 Oktober 2012.

Sunday, October 14, 2012

data itu menyebalkan

Jaman sekarang, jaman informasi. Siapa yang mempunyai informasi terlebih dahulu, maka dia akan menguasai dunia. Kurang lebih begitu, dengang dengung yang sering kita dengar di era boomingnya teknologi informasi saat ini. Segalanya begitu instant, tak ada penyaringan. Segalah sesuatu yang terjadi di kota Ujung Genteng, bisa terinformasikan dalam hitungan menit ke Kota New York heuheu, bahkan sampai tampilan movie nya pun bisa, tidak hanya berupa berita ataupun gambar,  luar biasa. Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat ini sejatinya diimbangi juga dengan perkembangan teknologi dan struktur data yang mumpuni. Namun kenyataan nya saat ini, sepertinya terjadi gap yang cukup besar antara perkembangan teknologi informasi dengan teknologi basis data, di semua sektor. Padahal, informasi tanpa data bagaikan sayur sop tanpa wortel dan sayur soto tanpa sayur lobak xixixi, analogi yang pas. 

Bicara konteks data di negara kita, sangat menyebalkan. Kenapa begitu ? setidaknya ada 5 faktor yang membuat data begitu menyebalkan. Yang pertama, kelembagaan. Jujur, sampai saat ini saya tidak begitu tahu kalau Badan Pusat Statistik itu berada dibawah kementerian yang mana, apakah langsung dibawah presiden atau di bawah suatu kementerian tertentu. Kalau melihat dalam salah satu berita siy, Kepala BPS pusat dilantik oleh Bu Armida, tapi kayanya bukan berarti berada di bawah salah satu kementerian kayanya. Melihat sepak terjang BPS sekarang, sepertinya mereka terlalu dominan dan terlalu jumawa. Betul, point pentingnya karena mereka dilindungi oleh Undang-undang 16 tahun 1997. Tapi kalau boleh ambil peribahasa, BPS itu seperti "agul ku payung butut". Terlalu membanggakan dengan sesuatu yang sebenarnya sudah jelek, yang tidak terlalu berfungsi dengan seharusnya. Boleh jadi, mungkin BPS sendiri pun sudah menyadari hal itu, tapi karena mungkin ada hambatan pendanaan, atau kendala lain, yang membuat BPS sendiri pun seperti tanpa upaya memperbaiki "payung butut' kebanggaannya itu. Bukan tidak mungkin, akan muncul banyak lembaga tandingan penyedia data yang lebih diminati oleh stakeholders data.  Yang kedua, ke "up to date" an. Dalam bahasa simpelnya, kita harus bersabar selama 1 tahun atau 356 hari atau 8544 jam untuk bisa tahu data yang kita butuhkan saat ini. Ya ampuunn. Misalnya, kita ingin tahu berapa jumlah penduduk kota Bandung pada hari ini,  13 Oktober 2012, maka pastinya jawabannya akan kita bisa tahu pada tahun depan, (mungkin) atau malah lebih lama. Ambil contoh lain yang lebih susah, misalnya berapa jumlah produksi daging sapi s.d. triwulan 3 tahun 2012 ?  pada dasarnya mungkin ada lembaga atau instansi yang bisa mengeluarkan data tersebut, tapi yang menjadi ganjalannya adalah keabsahan data tersebut. padahal memang instansi tersebut yang menghitung data produksi daging untuk kemudian "dikirim" ke BPS
dan disahkan oleh BPS setelah masuk ke "daerah dalam angka" pada tahun berikutnya.....*whew
Yang ketiga, data yang disediakan oleh BPS, selalu sepotong, hanya bersifat umum, tidak mencapai kedalaman data. Padahal yang saya yakini, salah satu keberhasilan para peneliti yang ada adalah dapat menganalisa sesuatu secara detail, terperinci dan bersifat sangat khusus, tapi entah kenapa, data yang ditampilkan oleh BPS selalu yang bersifat umum. Suudzan nya saya, jangan-jangan data yang bersifat detail itu sebenarnya ada, tapi disembunyikan, dan akan diberikan (baca : dijual) kepada pihak-pihak yang membutuhkan, siapa tahu ? Yang keempat, harga data yang terlalu mahal. entah karena faktor apa yang membuat data di Indonesia begitu mahal. Ingin rasanya tahu, jika kita bisa menyusun suatu basis data yang ideal bagi semua kabupaten/kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat, maka berapa jumlah anggaran yang dibutuhkan oleh BPS agar semua data itu dapat tersedia ? itu bisa menjadi salah satu obsesi buat siapa pun pemimpin negeri ini, membuat data begitu murah (buat rakyat). Yang ke lima, kerahasiaan data masyarakat. sangat aneh jika ada sebuah data, misalnya data rakyat miskin di suatu daerah, menjadi suatu data yang rahasia, kenapa ? saya pikir selama itu, data nya adalah data yang bersifat umum, dimana pencarian datanya itu juga menggunakan uang rakyat, kenapa harus dirahasiakan ? jangan terlalu takut untuk menyebarluaskan data, apa yang memang disembunyikan dari data itu ? apa itu mengganggu keamanan negara ? hahaha..........sejak kapan data rakyat miskin berpengaruh kepada keamanan negara ataukah (hanya) mengganggu "keamanan" penguasa suatu daerah ? ah, nonsense.



Sudah hampir belasan tahun, sejak saya mulai merasa “melek data”, nampaknya belum ada perubahan yang signifikan terhadap perbaikan basis data di tanah air ini. dan sampai sekarang pun, karena saya berstatus sebagai user data, tidak berkaitan secara langsung dengan kebijakan pendataan, hanya bisa duduk dan berteriak kesana sini tentang adanya gap perkembangan teknologi informasi dan basis data yang ajeg. Semoga para pemimpin negeri ini memberi perhatian lebih kepada pentingnya ketersediaan data  yang akurat, real time, dan komprehensif ini, sehingga data tidak lagi menyebalkan. 

14 oktober 2012

 


Wednesday, October 10, 2012

Original


Kebanyakan orang lebih menyukai barang yang sesuai dengan kondisi aslinya, sesuai dengan kondisi awal barang  itu diproduksi, misalnya  mobil, motor dan juga sepeda.  Tapi jangan salah, mengubah kondisi suatu barang itu ada 2 tipe, yang pertama adalah dengan meng upgrade beberapa komponen dari barang untuk meningkatkan performanya dan yang kedua adalah mempreteli beberapa bagian dari barang tersebut dengan maksud agar terlihat gaya (unik). Untuk yang pertama, biasanya ini dilakukan karena ada suatu ketidakpuasan akan performa suatu barang itu, baik dari sisi kemampuan, penampilan ataupun dari sisi estetika. Kita ambil contoh, untuk mobil. Seorang penggila mobil khususnya penyuka mobil-mobil custom dengan kemampuan khusus, misalnya untuk offroad yang mengandalkan kekuatan atau sprint rally yang mengandalkan kecepatan, maka dia akan merombak satu mobil yang diinginkan itu dengan spesifikasi khusus yang dirancang untuk memberikan kepuasan dalam berkendara. Nah itu dia, karena standard kepuasan manusia selalu tidak terbatas, maka biasanya biaya yang dikeluarkan itu sangat jor-jor an, bisa membuat kita semua tercengang tak percaya.
Sementara yang kedua, biasanya ini dilakukan oleh orang-orang yang merasa tidak puas dengan sisi estetika dari suatu barang, tapi tidak dapat menemukan solusinya selain dengan mempreteli beberapa bagian yang pada awalnya menempel pada barang tersebut. Contoh mudahnya adalah pada sepeda motor. Ada satu bagian pada motor yang mayoritas selalu dilepas oleh setiap penggunanya, yaitu “tebeng” (ntah ini bahasa baku atau bukan). Buat para pengguna motor, tebeng ini seringkali dilepas karena dianggap mengganggu penampilan karena tebeng itu biasanya mepunyai warna berbeda dengan body motor,  selain itu adanya tebeng ini membuat posisi kaki pengendara lebih sempit, sehingga mengurangi kenyamanan dalam berkendara. Itu secara umum saja, tapi hal ini menjadi suatu kewajiban buat anak muda. Buat para anak muda yang menggunakan motor pada umumnya selalu mempreteli beberapa bagian motornya, intinya ingin terlihat lebih gaya, ingin berbeda dengan motor sejenisnya, tapi karena belum berpenghasilan, maka mempreteli adalah tindakan yang biasanya dilakukan, ah, jadi inget waktu muda dulu heuheu. 
Buat para sepuh, para kolektor, biasanya lebih mempertahankan originalitas dari barangnya, entah itu mobil, motor atau sepeda. Sepertinya ada kepuasan lain jika kita bisa memiliki suatu barang dengan segala keorsinilannya.  Semakin tua itu barang dalam kondisi orsinil, maka semakin antik itu barang dan semakin dicari oleh orang-orang. 
Kalau kita ambil dari spot yang lain, originalitas itu bisa menjadi suatu daya jual yang menarik bagi wisata, khususnya wisata alam dan kehidupan alami. Coba anda pergi ke Kota Garut, setidaknya yang saya tahu, mungkin ada 4 tempat wisata yang menjual konsep originalitas, atau konsep kembali ke alam, kembali ke kehidupan dimana belum ada polusi-polusi pembangungan dan mencoba untuk membawa para pengunjung menikmati kehidupan pada era 60 - 70 an. Hamparan sawah yang luas, hewan-hewan peliharaan berlalu lalang, tembok-tembok rumah masih menggunakan bilik-bilik, memasak makanan masih menggunakan "suluh" serta tempat mandi yang menggunakan Pancuran, tidak menggunakan shower ataupun "bathtub" seperti hotel-hotel masa kini. Yang anehnya, tempat-tempat seperti itu ternyata sangat laku. Jangan coba-coba anda datang go show pada saat weekend ke tempat itu, karena dipastikan sudah ter pesan sejak beberapa minggu sebelumnya. Padahal kalau melihat dari sisi harga, bungalow-bungalow itu seharga dengan kamar type "deluxe" atau "superior" di hotel bintang 5 di Jakarta, gile.
Ternyata memang, harga sebuah originalitas itu tidak terbatas, unlimitted. Orang-orang lebih menghargai originalitas lebih dari apapun, setuju kah anda ?  Jika memang demikian, lalu kenapa kita tidak ingin menjadi manusia yang original ? atau nanti dulu, emang bagaimana karakter dan sifat manusia yang original itu ? apakah saat ini, sikap dan perilaku manusia sudah tidak original lagi ?  *saya minta timeout buat berpikir terlebih dahulu, apa makna original dalam diri manusia, sebagai hamba-Nya, sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk ekologis. 
10 10 2012

Friday, October 5, 2012

Permukiman Menawan di Selatan Kota Bandung



Boleh saya bercerita tentang suatu permukiman yang menawan, di selatan kota Bandung. Jujur, saya tidak tahu berapa luasnya daerah ini, hanya saja dalam pandangan saya pada tahun ’90 – ’97 an, daerah ini sangat sudah tertata dengan rapih. Betapa tidak, jalan arteri sekunder dan kolektor primer begitu tertata dengan baik  dan mempunyai lebar jalan yang besar sehingga dapat menyokong fungsi jalan arteri primer yang  memang menjadi jalur penghubung dari kota Bandung ke kota-kota satelit di sekelilingnya.
Bicara fasilitas, ini yang semakin kagum, di permukiman terdapat beberapa kantor pemerintahan yang besar, sebut saja, kantor pengadilan negeri, kejaksaan negeri dan kantor departemen agama, serta ada juga kantor PLN yang berdiri megah disana.  Kemudian sarana pendidikan, lengkap semuanya, dimulai dari sebuah taman kanak-kanak sampai Universitas ada disitu. Jangan lupa, sekolah luar biasa pun ada disana. Adanya Mesjid Agung dan pesantren nya  menjadikan suatu nilai plus bagi sebuah permukiman. Selain itu, fasilitas sebuah Rumah Sakit Umum dan Pasar tradisional yang representative menjadi magnet buat penduduk yang tinggal berdekatan untuk hilir mudik beraktivitas di permukiman itu. Ruang terbuka hijau begitu dominan disana dan berhasil menambah nilai keasriannya.
Tahun 90’an, hanya ada 4 kompleks besar yang terdapat dalam permukiman tersebut, diantaranya adalah kompleks wartawan dan kompleks TNI AD. Sedangkan sisanya adalah perumahan umum dengan penataan rumah yang sangat tertata rapih dan penduduk yang tidak begitu padat. Aktivitas penduduk utama nya adalah sudah variatif, tidak melulu bekerja sebagai  petani, justru kebanyakan adalah para pekerja pemerintahan, swasta dan pelaku usaha kecil.
Dengan segala sarana dan prasarana seperti itu, kiranya wajar kalau disebut sebuah permukiman ideal  untuk ditinggali dan membesarkan keluarga di daerah tersebut.
Namun dibalik segala semua itu, di batas ujung utara terdapat sebuah aliran sungai Citarum yang mengalir dari arah selatan mengalir terus ke arah barat daya. Sejatinya aliran sungai ini menambah keindahan permukiman itu, tapi yang terjadi justru kebalikannya. Sungai itu menjadi titik penghancur keindahan permukiman tersebut, hal ini karena daerah aliran sungainya sangat berkelok dan adanya erosi dari hulu menyebabkan sungai tersebut menjadi dangkal. Banjir sangat besar pernah terjadi pada tahun 1985, sungai Citarum meluap, dan menutupi  hampir 95 persen pemukiman tersebut. Banjir itu melumpuhkan daerah Bandung Selatan, termasuk permukiman itu didalamnya.
Banjir itu tampaknya menjadi suatu titik henti pertumbuhan permukiman tersebut. Sehingga pada kurun tahun 90’an seperti yang digambarkan di awal tulisan ini, ternyata permukiman itu sedang berada dalam stagnasi pembangunan yang justru menjadi berkah tersendiri buat penduduk yang tinggal disana. Kompleks perumahan tidak tumbuh dengan cepat. Sawah-sawah belum berubah fungsi. Jalan arteri sekunder dan kolektor masih bisa dilalui dengan nyaman oleh para pejalan kaki dan juga merupakan “arena” yang nyaman buat bersepeda di pagi dan sore hari, atau buat jogging dan berolahraga lainnya. Lalu bagaimana situasi nya sekarang ? ah, jengah rasanya saya untuk menceritakannya. Yang pasti, sudah tidak se-asri dulu, tidak seindah dulu dan tidak senyaman dulu. Hanya tinggal sedikit tersisa ke"endah"an dari permukiman itu. Btw, sebut saja permukiman itu dengan sebutan “Bale Endah”                                 

5 Oktober 2012