Thursday, October 25, 2012

Ikhlas Ikhlas Ikhlas

Namaku, Belang, awalnya entah kenapa orang tua saya memberi nama yang begitu simpel dan mudah diingat. Namun seiring usia bertambah, saya baru mengerti kenapa saya diberi nama seperti itu, ya karena Beliau menganugerahi saya kulit yang memang belang, ada warna putih, hitam dan coklat di beberapa bagian. Saya mempunyai seorang ibu yang sangat baik hati dan penyayang. Begitu banyak pengorbanan yang dia telah lakukan demi saya, anaknya. Yang saya ingat, pernah suatu hari, saat saya sedang sakit dan makanan yang tersedia sangat sedikit, ibu tidak makan seharian, membiarkan saya makan dengan banyak dan lahap. "Biar kamu cepat sembuh nak, bisa lari-lari lagi di lapangan, bisa main petak umpet dengan temen-temen kamu. Ibu tau, kamu sangat senang maen dan Ibu ingin membuat kamu selalu bahagia. Karena kamu harus tau nak, kebahagian kamu adalah kebahagiaan ibu, senyum kamu adalah senyum ibu, dan kesedihan kamu adalah kesedihan ibu. Ketika kamu jatuh sakit, jujur nak, mungkin ibu mu ini yang terjatuh lebih sakit" ucap Ibu saat itu. 

Saya merasa bersyukur, mempunyai seorang ibu yang begitu sayang kepada anaknya. Meski sudah tidak mempunyai ayah lagi sejak 2 tahun yang lalu, saya pikir, sudah cukup dengan mempunyai seorang ibu, karena saya tidak merasa kekurangan kasih sayang sedikitpun. Pernah saya menanyakan kepada Ibu tentang ayah saya, siapa namanya, bagaimana dia meninggal. Ibu hanya bilang kalau ayah pergi saat saya sedang dalam kandungan ibu. "Namun bagi ibu, ayahmu itu adalah seorang pahlawan, dia seorang suami yang sangat patuh terhadap Tuhannya dan sangat mencintai istrinya, ibumu. Jadi jangan pernah membenci ayahmu, karena Ibu tau, dia akan sangat menyayangi mu jika dia masih ada saat ini".  Itu jawaban dari Ibu yang selalu diingat jika saya  menanyakan tentang kabar ayah. Maka cukuplah dengan cerita itu, saya berbangga dengan ayah saya. Karena ayah seorang pahlawan, setidaknya seorang pahlawan buat ibuku, orang yang sangat mencintai saya.

Ada satu fenomena yang menarik, di daerah perumahan saya, setahun sekali semua lelaki diminta berkumpul di tanah lapang. Buat yang sudah dewasa, diminta berbaris dengan rapih, sedangkan buat saya yang masih kecil saat itu, malah disuruh bermain dengan temen-temen yang sebaya. Senangnya bukan main. Walaupun demikian, ada juga rasa ingin tahu di hati, kenapa orang dewasa diminta berbaris, emang mereka mau ngapain ? mau kemana ? apakah mereka akan pergi berperang ? ataukah mereka dikumpulkan hanya untuk di catat nomor identitas saja ? berbagai pertanyaan bermunculan saat itu. Namun, pertanyaan itu hilang dengan sendirinya, terhapus oleh rasa senang bermain dan bercanda dengan temen-temen yang lain. Ketika tiba di rumah, saya bilang ke ibu kalau saya sangat senang hari ini karena bisa bermain seharian, tapi tetep juga menanyakan berbagai pertanyaan yang tadi sempet muncul dipikiran. Ibu hanya tersenyum mendengar banyak pertanyaan dari saya, dan kemudian Ibu hanya menjawab, " itu adalah proses seleksi untuk menjadi seorang pahlawan nak. Setiap ibu sangat bangga jika anaknya nanti menjadi seorang pahlawan. Karenanya, Ibu ingin kamu juga menjadi seorang pahlawan buat ibu, kamu mau kan nak ?" Mendengar pertanyaan ibu itu, saya langsung menjawab, " tentu bu, saya ingin cepat besar, saya ingin ikut seleksi, dan ingin  menjadi seorang pahlawan". Ibu hanya tersenyum dengan tatapan mata yang sangat dalam dan penuh dengan perasaan sayang, dipeluknya saya dengan erat, sambil berkata dengan lembut, "ibu tau nak dan ibu yakin, tahun depan kamu bisa lulus seleksi dan bisa menjadi pahlawan buat ibu". Mendengar ucapan nya, hati saya berdegup kencang, bertekad untuk segera mewujudkan harapannya di tahun depan. 

Saya tinggal di kaki bukit "Munjul", salah satu daerah di Bandung Selatan. Disini, jika kita melihat ke utara akan tampak keindahan Gunung Tangkuban Parahu, sedangkan jika menengok ke arah selatan, akan nampak kemegahan Gunung Malabar. Kurang lebih 300 meter dari bukit ini, melintas aliran Sungai Citarum yang menjadi sumber irigasi bagi sawah-sawah dan kebun-kebun di sekitarnya, dan pagi ini, di kaki bukit, langit begitu cerah, lebih terang dari biasanya, namun udaranya masih sangat sejuk, rumput-rumput masih basah sisa embun semalam, ayam sudah berkeliaran di halaman mencari makanan, burung pipit sedang berterbangan meninggalkan sarangnya. Pagi ini adalah pagi yang sudah saya nantikan itu sejak lama. 2 hari yang lalu,  ibu berkata kalau saya harus bersiap mengikuti proses seleksi menjadi pahlawan pada hari ini. Saya sangat senang sekali. Setelah bangun, saya melihat ibu sudah menyiapkan makanan buat sarapan. Saya kemudian diminta ibu untuk menghabiskan semua makanan itu. Melihat saya makan begitu bersemangat, ibu hanya tersenyum bijak. Dengan tatapan mata yang sejuk dan penuh rasa sayang, Ibu terus memperhatikan saya makan hingga selesai. Saya makan sangat banyak pagi itu. Kemudian ibu meminta saya duduk karena ibu akan menyampaikan sesuatu. Dengan suara yang lemah lembut, ibu berkata, "duhai anakku, kamu percaya kalau Tuhan itu ada ?" Saya menjawab " Percaya bu". "lalu, kamu tau untuk apa kita semua diciptakan di muka bumi ini ? sesungguhnya, kita dilahirkan tak lain adalah untuk beribadah nak, untuk mensyukuri semua nikmat-Nya, untuk memuji semua kebesaran-Nya dan untuk diuji dengan berbagai cobaan dan tantangan. Satu kata kunci jika kita ingin lulus dari semua cobaan dan tantangan-Nya nak, yaitu ikhlas. Niatkan semua yang kita lakukan adalah untuk Tuhan-mu, maka hati ini akan seketika menjadi ikhlas. Anakku, hari ini kamu akan mengejar cita-citamu menjadi pahlawan. Luruskan niatmu nak, ibu ikhlas melepas kepergian mu, ibu ikhlas melepas kepergianmu". Ada nada suara ibu yang berbeda dari biasanya. Terasa begitu berat dan agak terbata-bata. Mata ibu berkaca-kaca, menahan air mata yang muncul dengan tiba-tiba. Belum pernah saya melihat mata ibu seperti itu, selama ini matanya tampak begitu jernih, penuh dengan tatapan rasa sayang. Entah kenapa, dada ini langsung terasa begitu sesak, air mata menyeruak ikut muncul di kantung mata saya. Lalu, "sini nak, salim ke ibu" ujar ibu. Saya mendekat ke ibu, mencium tangannya yang begitu halus, dan kemudian ubun-ubun kepala saya tertunduk di mulut ibu, dengan hati yang tak menentu, dan saya mendengar ibu berdoa, "Ya Rabb, hari ini saya ikhlaskan, anak hamba untuk pergi memenuhi kewajibannya, memenuhi sunnah dari Rasul kesayangan-Mu, Ibrahim dan Muhammad. Ya Rabb, karuniakan kepada anak hamba, hati yang tulus dan patuh kepada semua titah-Mu, seperti hatinya seorang Ismail bin Ibrahim, yang dengan ikhlas menjalankan semua perintah-Mu. Mudahkan anak saya untuk kembali kepada-Mu dengan syahid, dan kumpulkan segera kami di surga-Mu dengan penuh kebahagiaan. Ya Rabb, perkenankan permohonan hambu-Mu ini". Selama ibu berdoa, saya hanya mengucapkan kata "amiin" berulang ulang sambil air mata tak tertahankan bercucuran, ini pertama kali saya mengucurkan air mata, menangis, selama hidup saya.
                                                                                  ****
Sholat idul adha baru saja selesai, Udin beserta istrinya, dan ketiga anaknya berjalan terburu-buru kembali ke rumahnya. Bukan karena lapar, karena belum sarapan, tapi karena Idul Adha kali ini jatuh pada hari Jum'at. Jadi waktu untuk menyembelih hewan qurbannya harus lebih cepat, agar daging hewan qurban dapat tetap terbagikan sebelum sore hari tiba. Sesampainya di rumah, Udin kemudian menyantap sepotong ketupat dengan opor ayam kampung buatan istrinya, lalu kemudian pergi ke halaman rumahnya. Dipojok halaman, ada seekor domba jantan berbulu belang tiga warna, ada putih, hitam dan coklat. Dengan usia domba yang masih muda, domba itu terlihat sangat gagah dan lebih besar untuk domba seusianya dan si domba itu sangat jinak. Tidak gampang mencari domba seperti itu, Udin telah berkeliling ke seluruh pelosok di kota Bandung, mencari domba-domba yang bagus untuk dia jadikan qurban, akhirnya Udin menemukan domba ini di 15 km arah selatan kota Bandung, di perbatasan daerah Bale Endah dan Cangkring. Senangnya tidak terkira, karena uang hasil Udin menabung di celengan kambing nya itu, mencukupi buat beli domba sebagus ini. Si Domba ini kemudian Udin lepas tali pengikatnya, dan dituntun menuju mesjid di dekat rumahnya. 
Hari ini,  10 Dzulhijah, Udin berqurban kembali di rumahnya. 
Hari ini, 10 Dzulhijah, doa ibu Si Belang terwujud, anaknya mati syahid. 

25 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment