Coba anda tanyakan kepada salah satu anak yang
tinggal di perkotaan tentang apa yang mereka cita-citakan nanti ? sulit kiranya
yang akan menemukan jawabannya, “Saya ingin menjadi seorang dokter hewan”,
akuilah itu. Khususnya untuk orang yang tinggal di perkotaan dimana hewan sudah
bukan merupakan symbol dari kesuksesan
atau rasa gengsi, maka tidaklah banyak orang kota yang mempunyai
hewan/ternak peliharaan, misalnya sapi, ayam dan domba. Yang tersisa hanyalah
binatang-binatang fancy, misalnya anjing dan kucing dan juga tidak ketinggalan
burung kicauan. Sehingga orang-orang kota lebih memilih menjadi seorang dokter
(manusia) dari pada dokter hewan, karena profesi dokter (relative) masih
disegani di masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Lain halnya kalau kita pergi ke suatu daerah
yang merupakan sentra peternakan, baik itu sentra peternakan sapi perah, sapi
potong, domba dan ayam. Di sana, profesi
dokter hewan merupakan salah satu profesi primadona yang masih dicita-citakan oleh
banyak orang. Pemikiran sederhananya sangat mudah, yaitu karena biasanya
penduduk di daerah memiliki piaraan hewan/ternak, walau hanya dengan skala
kepemilikan 3-5 ekor per keluarga, tapi karena dipelihara secara masal oleh
banyak orang maka potensi terkena penyakit ternak semakin tinggi pula. Dan
disaat seperti itu lah, profesi dokter hewan begitu disanjung, digugu dan
ditiru oleh masyarakat di daerah tersebut.
Mengaca kepada kebutuhan dokter hewan di
Provinsi Jawa Barat, seharusnya tidak ada dokter hewan yang menjadi
“pengangguran” di Jawa Barat, karena dengan area cakupan pelayanan kesehatan
hewan yang sangat luas dan jumlah populasi ternak yang cukup banyak, maka
sangat wajar kalau profesi dokter hewan menjadi profesi yang langka di Jawa
Barat. Kebutuhan Dokter Hewan yang cukup
tinggi tidak disertai oleh dukungan sarana pendidikan yang cukup mengingat
hanya dua universitas di Pulau Jawa yang menyediakan Fakultasi Kedokteran
Hewan, yaitu IPB dan UGM.
Ada satu kesamaan antara Dokter Hewan dan
Dokter Anak, yaitu tidak bisanya komunikasi secara langsung antara pasien
dengan dokternya. Seorang dokter anak tidak mungkin dapat menanyakan sesuatu
kepada seorang dibawah umur 4 tahun, karena mereka belum memahami isi dari
pertanyaan dokter. Begitu pula dengan dokter hewan, yang harus dapat melakukan
komunikasi khusus dengan pasiennya, yaitu binatang dan hewan ternak yang sakit.
Satu-satunya cara adalah dengan memeriksa secara langsung kondisi si “pasien”
nya dan atau menanyakan kepada pemilik hewan/ternak tentang aktivitas –
aktivitas yang tidak umum terjadi kepada binatang/hewan piaraannya.
Hanya saja, kalau boleh jujur, profesi dokter
saat ini diakui atau tidak sudah sangat ternoda, karena sudah menjadi
komersiil. Orang-orang menjadi sungkan berobat ke dokter karena mahalnya harga
jasa pemeriksaan oleh Dokter. Jangan tanya lagi tentang harga obatnya, itu
sudah masuk ke area industry, dimana profit sudah menjadi orientasi utama. Tapi
yang harus digarisbawahi adalah jasa pemeriksaannya yang sangat mahal. Padahal,
kalau kata sepuh kita dulu, dalam profesi dokter itu menempel kewajiban untuk
melayani masyarakat, untuk memberi pertolongan kepada masyarat sehingga profesi
dokter itu merupakan profesi yang dianggap sangat mulya.
Lalu apakah profesi dokter hewan akan sama
terjebak ke dalam situasi seperti itu ? semoga para dokter hewan selalu bisa
istiqomah melaksanakan kewajiban profesi dengan tetap menjadi dewa penolong
masyarakat yang membutuhkan keahliannya……semoga
1 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment